November 2, 2013

Sukses!

Meski mata ini terasa 5 watt, kaki dan tangan terasa mau patah, rambut pun masih keras dan kaku karena di semprot hairspray, hasrat jari-jari untuk menulis tentang malam ini pun saya turuti.

Lima jam yang lalu, tepatnya pukul 7 malam terlaksanakanlah Knock Knock Indonesia 2013 yang berjudul "The Lost Emerald". Tema ini diambil dari lokasi geografis Indonesia yang berada di garis jamrud khatulistiwa. Acara tahunan yang dibuat oleh  MIKy (Mahasiswa Indonesia Kyungsung University) berkolaborasi dengan KITA (Kyungsung Indonesian Traditional Dance Association) ini menampilkan seni tari, nyanyi dan drama tradisional. Pertunjukkan yang menceritakan seorang pemuda yang mencari emerald di seluruh Indonesia ini ditampilkan melalui drama berpadukan tari-tari tradisional yang berdurasi kurang lebih 1,5 jam.

Seperti hari-hari lain, pagi ini saya bangun dengan penuh perjuangan. Disertai keluhan saya beranjak dari kasur untuk bersiap-siap. Entah mengapa tenang rasanya. Tapi aneh. Bagaimana saya tidak merasa aneh, 5 hari terakhir ini kami latihan setiap malam seakan-akan hari ini adalah hari besar keramat kedua setelah lebaran (bisa jadi). Dan di hari-H, malah berasa biasa-biasa saja. Saya berpikir mungkin karena ini kedua kalinya saya tampil di Knock Knock Indonesia, jadi tidak se-panik tahun lalu. 

Pukul 10, backstage Concert Hall di kampus saya sudah di penuhi oleh orang-orang yang sibuk mendandani dan didandani, memakaikan dan dipakaikan kostum yang agak ribet. Saya yang tidak diizinkan untuk memakai kostum oleh panitia kostum (karena akan susah nari Saman saat gladi bersih jika memakai kostum Bali), hanya bisa duduk di pojokan mengagumi indahnya beragam warna warni kostum dan make-up yang mewarnai ruang tunggu ini. Iri sekali saya melihat orang-orang yang sudah bisa berfoto-foto dengan full-kostum (nasib penari Bali yang double dengan tari Saman). Sementara di panggung, panitia hari H sibuk dengan urusan ticketing, perlengkapan, kamera, sound system, lighting, hingga kursi tambahan. 

Entah mengapa, waktu bersiap-siap terasa sangat lama. Saya yang bisa tidur dalam kondisi apa pun, menyempatkan diri untuk tidur sejenak. Walau sempat-sempatnya tidur, makan siang yang berupa chicken mayo (semacam nasi campur) tak bisa saya lahap dengan enak. Hanya beberapa suap yang masuk ke dalam perut (personal reasons *halah). Tahun lalu, karena saya panitia perlengkapan, sibuklah saya dengan perlengkapan-perlengkapan di atas panggung. Kali ini, saya bisa ber haha-hihi dengan teman-teman di backstage. Karena lama mengurus sound system, gladi bersih yang seharusnya dimulai pukul 3, baru bisa di mulai pukul 4. Lagi-lagi saking tenangnya, gladi bersih pun tidak berasa seperti gladi bersih (biasanya tetep dag dig dug gitu). Lantaran rambut yang sudah di hairdo ala "Bali", menari Saman pun tidak leluasa. Belum lagi, hilangnya tempo di antara kami penari dan penabuh gendang yang sempat membuat kami berhenti di tengah-tengah. Dengan kata lain, hancur. Karena itulah, tari Saman kembali lagi ke panggung untuk marking yang kedua kalinya. Pelatih kami yang juga ketua KITA, tidak dapat berkata apa pun. Kekecewaan terlihat jelas di wajahnya. "Kita udah gak bisa latihan lagi, kita cuma bisa berdoa", itulah kata-kata terakhir sebelum acara di mulai. 

Melihat apa yang telah terjadi saat gladi bersih, perasaan tenang yang saya rasakan sejak pagi ini berubah total menjadi harap-harap cemas, panik, tidak sabar, senang, ragu. Intinya, campur aduk. Setelah tari Saman marking untuk kedua kalinya, belum sempat makan malam, saya langsung di bebet oleh kain Bali sepanjang 8 meter yang bahannya sangatlah tidak nyaman. Alhasil, lagi-lagi KKI tahun ini pun saya tidak sempat makan malam. Jangankan makan, nafas saja susah. Saya jadi kagum dengan penari-penari Bali.

Detik-detik terakhir sebelum acara mulai, kondisi backstage sangatlah kacau balau. Make-up bertebaran, bungkus makanan berada diatas meja make-up, tumpahan minuman karena kesenggol tidak langsung dilap, tas-tas berserakan, berbagai macam lipstick tersebar di penjuru ruangan, alas kaki yang tidak tersusun dengan rapih. Gara-gara kekisruhan tersebut, salah satu teman saya yang juga menari Bali pun kehilangan bokornya. Lebih tepatnya, karena kondisi yang sudah mepet, bokor bukan milik sendiri pun jadi. Karena tari Bali pembuka, bukan main kita panik mencari bokor tersebut yang ujung-ujungnya tertimbun di dalam tumpukan barang-barang yang seharusnya tidak berada disitu. Tepat 10 menit sebelum acara dimulai, di suasana ruang tunggu yang tegang ini, kami yang berpakaian beragam kostum tradisional Indonesia dan dalam beragam agama, kami pun saling menggenggam tangan dan berdoa untuk kesuksesan acara ini. Dan setelah berdoa, akhirnya saya bisa foto full-kostum Bali lengkap dengan penari Bali lainnya. Ini pertama kalinya kami tampil dengan kostum asli Bali (karena alasan dana, kami biasanya meminjam kostum tari Batak *miris).

Tepat pukul 7, kata sambutan pun mulai terdengar dari speaker. Saya yang berada kurang lebih satu meter dari panggung tak henti-hentinya menadahkan tangan, melepas doa. Telapak tangan yang dingin dan basah berkali saya lapkan ke kain Bali yang dililitkan ke tubuh saya. Dan tanpa saya sadari, mata saya pun berkaca-kaca (waduh make-up). Saya juga tidak tahu kenapa saya mengurai air mata saat itu. Lagu tari Pendet pun di putar, dengan hati deg-degan saya pun berjalan ala "pendet" ke panggung. Luar biasa takjub melihat Concert Hall penuh sesak oleh penonton. Agak beda dengan tahun lalu dimana kami bingung siapa yang kami mau undang. Bahkan, jumlah penonton yang duduk di tangga dan di kursi tambahan cukup banyak. 

Kembali ke backstage, dengan bantuan dua teman saya proses melepas lilitan kain 8 meter lalu ganti ke kostum saman cukup cepat. Akhirnya saya bisa bernafas lega. Agar tidak tertukar dan tidak menambahkan keberantakan di ruang ganti, dengan rapih saya lipat kembali kostum Bali tersebut. Setelah itu, barulah saya bergegas ke ruang make-up. Dan tiba-tiba teriakan "Tari Pukat stand-by!" terdengar. Panik tidak karuan. Bagaimana tidak panik, urutan Tari Saman adalah setelah Tari Pukat, sedangkan rambut belum dicepol dan make-up saya masih make-up Tari Bali. Dengan kecepatan bantuan 6 tangan yang saya juga tidak mengerti, kurang dari satu menit rambut saya sudah dicepol dan make-up pun sudah berubah menjadi make-up Tari Saman. Hebat! 

Setelah bergabung dengan penari Saman lainnya yang sudah stand-by di dekat panggung, tak henti-hentinya saya ucapkan "Bismillah". Mengingat buruknya gladi bersih kami tadi, perasaan khawatir tak kunjung pergi. Lampu sorot mati, dan kami pun berjalan lalu berlutut di atas panggung menunggu nyalanya lampu. Mulailah kami menepuk-nepuk kedua tangan dengan gaya Tari Saman. Seperti biasa, kami yang dipacu oleh adrenaline yang semakin meninggi, mengambil nada dasar yang cukup tinggi. Alhasil, rasanya saat itu Concert Hall seakan mau pecah dengan teriakan kami. Alhamdulillah, hampir tidak ada salah. Senyum lebar pun menghiasi muka saya saat pose terakhir. Lega. Sudah 3 tahun saya tampil Tari Saman di negeri gingseng ini, dan perasaan di setiap tampil berbeda-beda. Namun, saya paling bangga tampil di KKI dimana ini acara yang kami buat dengan susah payah untuk mempertunjukkan budaya Indonesia. 

Setelah Tari Saman selesai, masuklah Tari Kecak yang merupakan klimaks acara ini. Senang rasanya bisa menyaksikan Tari Kecak, walaupun hanya dari samping panggung (karena selama latihan selalu mengerjakan tugas, jadi biasanya tidak begitu memerhatikan). Dengan bantuan lighting yang bernuansa kemerah-merahan, perkelahian antara sang pemuda dan jin yang disertai dengan lantunan "cak cak cak cak.." terdengar sangat memukau. Kami yang menonton dari samping panggung pun ikut bersorak dan bertepuk tangan. Menuju akhir acara yaitu closing, semua penari menari bersama diiringi medley lagu "Dansa Yok Dansa", "Cinta Indonesia", dan "Zamrud Khatulistiwa". Dikibarkannya sang merah putih di atas panggung, kami bernyanyi tidak putus-putus sampai iringan dari tim Musik pun berhenti. Sama seperti tahun lalu, lagu "Bendera" yang dinyanyikan oleh Coklat pun diputar sebagai lagu terakhir. Penuh nasionalisme, kami ikut menyanyikan lagu tersebut. Akhirnya selesai juga dan turunlah tirai merah yang menandai selesainya acara kami. Dengan otomatis, kami saling berpelukan diiringi dengan banjir air mata. Kali ini, saya tahu air mata ini adalah air mata senang. Puas rasanya bisa memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia di negeri orang. Inilah bentuk nasionalisme kami. 


Sukar dipercaya, rasanya tadi kemenangan tergenggam.